Saturday, January 08, 2005

Tafakur Hening di Ujung Tahun

"Wahai anak cucu Adam,
engkau hanyalah kumpulan dari hari-hari yang terhitung.
Bila berlalu satu hari berarti hilanglah sebagian darimu.
Jika hilang sebagian darimu maka bertambah dekatlah saat
kematianmu.
Kalau engkau sudah mengetahui hal itu Maka segeralah
berbuat!
(Beramal, bersiap dan berbekallah)."
( Hasan al-Bashri )

-Hari Ahad kemarin mungkin hari yang menyenangkan.
Bukankah hari libur selalu menjadi hari untuk sejenak
lepas dari rentetan deadline pekerjaan.

Hari Ahad kemarin bisa jadi hari yang indah, karena
biasanya kita bebas bersantai di rumah tanpa harus
menikmati kemacetan jalan, bercengkrama dengan keluarga
atau pergi jalan-jalan untuk sebentar melupakan jerat
rutinitas kantor.

Oh iya, hari Ahad kemarin, hari yang paling
ditunggu-tunggu oleh Eci, teman kantor saya. Karena hari
itu ia melangsungkan pernikahan. Hari yang paling
ditunggunya. Hari paling berbahagia dalam kehidupannya.

Tapi ternyata hari Ahad kemarin adalah hari yang paling
menakutkan, bagi saudara kita di bumi Aceh sana. Ternyata
hari Ahad kemarin adalah hari paling kelam yang
meninggalkan trauma kepedihan bagi hampir semua penduduk
Serambi Mekkah. Hari itu tak sedikitpun mereka kira akan
menjadi hari sepenuh duka dan luka.

Pagi, di hari itu, semuanya masih terasa sama. Arakan awan
putih, pohon hijau melambai, ibu-ibu pergi ke pasar,
anak-anak bermain ceria, bahkan di sebuah lapangan tengah
kota sebuah perlombaan lari tengah di gelar, udara bertiup
sejuk. Sampai tiba saat itu. Dalam sekejap semua tak lagi
sama. Ujud tanah rencong terkoyak hampir sempurna.

Dan bapak itu berkisah, rumahnya berada di pesisir pantai.
Ia tengah di dalam rumah, ketika tiba-tiba saja hingar
gemuruh singgah di telinga. Bergegas ia ke luar, dan
sejenak ia seperti berada dalam mimpi. Sejauh mata
memandang, ia tak melihat setetes pun air laut yang
biasanya membiru. Ia bersama yang lainnya menuju ke arah
pantai. Mereka tertegun penuh decak kagum. Ternyata laut
tak hendak berbagi suka. Air yang surut itu datang.
Bergulung-gulung. Tinggi sekali. Ombaknya menjelma tangan
yang rindu dan memberikan songsongan kepada kekasihnya. Ia
berlari. Sempat ia melihat para tetangganya tenggelam
tersapu air yang datang tiba-tiba. Dan ia pingsan. Ketika
siuman, sebuah kenyataan membuat hatinya memar. Puluhan
ribu nyawa saudaranya terenggut air laut yang juga
mengerjarnya tanpa henti.

***

Saya tidak sendirian tercenung di depan televisi. Ruang
tengah itu hening. Kami tak mampu berkata-kata. Betapa
tidak, puluhan jenazah balita berjejer terbujur diam di
antara ratusan jenazah dewasa lainnya. Hampir semua
berbalut kain yang ujudnya sudah tak layak pakai. Ah,
anak-anak polos itu. Ribuan jenazah lainnya masih
berserak, di antara tumpukan sampah kayu, di tengah jalan,
di mana-mana. Betapa mudah bagi Allah merenggut puluhan
ribu nyawa dalam waktu satu jeda. Sangat mudah.

"Duh Allah, sedemikian bebalkah saya, hingga harus
diingatkan dengan tsunami sedahsyat ini," ucapan kakak
ipar terdengar samar. Saya diam. Mendengar ucapannya, saya
tersenyum miris. Yah, betapa bebal jiwa ini, hingga Allah
harus menegur dengan begitu keras. Sudah membatu seperti
apa hati ini, hingga untuk menyentuhnya Allah harus
menggeserkan dasar lautan dan terjadilah gempa disertai
tsunami.

"Ya Ghaffar, janganlah Engkau hukum kami, jika kami lupa
atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Allah,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Beri maaflah kami, Ampunilah kami."

***

Di ujung hening, ada yang di gumamkan ke angkasa
diam-diam. Malu-malu. Karena betapa banyak karat dosa yang
telah dilakukan.

Wahai Yang Maha Lembut pengasihnya, perkenankan kami,
menengadah menjemput cahaya keagungan Mu, meski Engkau tau
betapa legamnya jiwa-jiwa ini.

Subhanaka Ya Allah, kami tahu betapa hati-hati ini telah
ditumbuhi banyak ilalang tinggi bahkan berduri. Kami
teramat sering melupakan Engkau dan mencintai dunia. Kami
sembah kesenangan, kami agungkan kekayaan. Kami lupa
berbagi. Kami lupa memberi.

Yang Maha Asih dan Sayang, perkenankan kami kembali
belajar. Belajar saling mencinta. Belajar menelagakan
kembali gemericik ukhuwah di antara kami.

Sahabat, bersyukurlah, kita masih diizinkan Sang Pencipta,
untuk memasuki pagi dan petang. Bersyukurlah jika kita
masih diperkenankan melihat mentari tahun baru. Bersyukur
masih ada porsi usia. Itu berarti bahwa kita masih diberi
jeda untuk bertaubat dan berbuat yang terbaik. Jangan
pernah menyia-nyiakannya.


***

Mari hantar sepenuh doa untuk semua saudara kita yang
terkena bencana. Semoga Allah menerima semua yang pergi
menghadap-Nya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan
keikhlasan dan kesabaran. Semoga setiap kita diberikan
kemampuan untuk mengambil pelajaran dari bencana kemarin.

***

Diambil dari : http://groups.yahoo.com/group/bumiayu/message/1378

No comments: